Mengenai Saya

Foto saya
Hi, I'm WuLandari…!! (panggil saja "Waa" Lahir hari Minggu,tepatnya maLam hari, 11-11-1990. Penginternalisasi filosofi Merpati dan Mawar Merah Mawar Putih. Bulan Purnama menjadi Cermin Diri. Dan, Ibunda Khadijah r.a (Istri Pertama Rasulullah SAW) adalah Inspirasiku daLam proses beLajar memperbaiki diri sebagai seorang Muslimah. Wulandari hanyalah wanita akhir zaman yang ingin menjadi seperti Bunda Khadijah meski tak mungkin mampu untuk menjadi seTakwa Beliau. Tapi setidaknya, aku ingin terus beLajar. Kican, Kakak Tertua, Pilar Khadijah adalah beberapa nama panggiLan sayang dari sahabat-sahabat ku… dan "Makoto" *semoga sifat itu seLaLu meLekat pada Pribadi ku ( Hamba yang TuLus n IkhLas karena RabbNya ). saLam sayang, pilar Khadijah,^__^

Rabu, 14 Desember 2011

BERUBAH by EDCOUSTIC (Bermuhasabah diringi Lagu ini)

Berubahkah aku hanya bila ada sesuatu
Terus aku pulang pada sikap sebelum kuberubah
Hanya sekedar sesuatu tak berapa lamapun itu
Jarang kuterendap dalam sikap dimana kuberubah

Tuhan aku hanya manusia 
Mudah berubah lagi dalam sekejap
Tuhan aku ingin berubah
Dan kubertahan dalam perubahanku



Tuhan aku hanya manusia
Mudah berubah lagi dalam sekejap
Tuhan aku ingin berubah
Dan kubertahan dalam perubahanku

Selasa, 13 Desember 2011

AIDS : ALLah Ingin Dunia Sadar !


Hari AIDS sedunia kembali diperingati. Tak ada yang terlalu spesial di hari itu, bahkan sebagian masyarakat mungkin lupa atau malah tidak tahu jika tanggal 1 Desember selalu diperingati sebagai hari AIDS sedunia. Seperti tahun-tahun sebelumnya, peringatan ini hanyalah sebatas seremonial belaka. Berkali-kali sudah hari AIDS diperingati namun ternyata penderita AIDS pun tak kunjung berkurang kuantitasnya, malah semakin bertambah.
Departemen Kesehatan memperkirakan, 19 juta orang saat ini berada pada risiko terinfeksi HIV. Sedangkan berdasarkan data Yayasan AIDS Indonesia (YAI), jumlah penderita HIV/AIDS di seluruh Indonesia per Maret 2009, mencapai 23.632 orang. Angka tersebut meningkat tajam bila dibandingkan jumlah penderita HIV/AIDS sepanjang 2008 yang mencapai 22.262 orang.
Tentu saja jumlah ini ibarat fenomena gunung es, puncaknya saja yang terlihat namun angka sebenarnya jauh lebih besar. Karena masih banyak lagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang belum terdata lantaran takut dan malu.
Banyak pihak yang mencoba memberikan solusi, namun solusi yang diberikan sifatnya tambal sulam dan dijamim tidak akan pernah menyelesaikan tuntas masalah. Misalnya solusi kondomisasi. Jika kritis melihat sebenarnya ini bukanlah solusi tetapi pembohongan publik yang membahayakan. Fakta ilmiah telah membuktikan bahwa kondom tidak mampu menanggulangi penyebaran HIV/AIDS.
Bagaimana kondom bisa mencegah HIV/AIDS, sementara diameter virus HIV jauh lebik kecil daripada pori-pori kondom. Ternyata lebar pori-pori kondom adalah 1/60 mikron dan dalam keadaan renggang akan melebar 10 kali lipat. Sementara ukuran virus HIV 1/250. Saat kondisi normal pori-pori kondom dapat dimasuki 4 virus HIV sementara dalam keadaan renggang dapat dimasuki 40 virus HIV. Namun mengapa kondom terus disosialisasikan bahkan dibuat ATM kondom?
Selain kondomisasi adalagi solusi lain yang dianggap mampu untuk sedikit menekan penyebaran virus HIV dan memberikan secerca kebahagiaan untuk mereka yang terlanjur teridap virus HIV. Dengan alasan kemanusiaan masyarakat dihimbau untuk tidak mengucilkan ODHA dan hidup berbaur bersamanya. Maka muncullah jargon “Hidup Aman Bersama ODHA”. Intinya jangan ragu berinteraksi dengan ODHA karena mereka juga punya hak asasi untuk hidup dan bergaul.
Padahal dalam perspektif Islam orang yang mengidap penyakit (apalagi penyakit menular) harus dikarantina dan tidak dibiarkan berinteraksi bebas dengan masyarakat. Sebagaimana Rasul menyuruh menjauhi orang yang menderita penyakit lepra. Ini tidak bisa dipandang sebagai bentuk diskriminasi terhadap penderita AIDS, tetapi ini adalah langkah pencegahan agar penyakit itu tidak tersebar.
Ada ketidakadilan dibalik kampanye ini, Jika kita tidak boleh mengucilkan ODHA mengapa perlakuan yang sama tidak diterapkan pada pasien flu burung? Mereka diisolasi dan ditempatkan pada ruang khusus. Bahkan ketika sudah meninggal, semua pengantar jenazahnya wajib memakai masker. Padahal, penularan antarmanusia belum terbukti, kecuali penularan dari unggas yang terinveksi virus H5N1 kepada manusia. Tapi, untuk kasus flu burung, mengapa tak disebut sebagai bentuk perlakuan diskriminasi?
Sebelum memberikan obat, terlebih dahulu harus didiagnosis apa sebenarnya yang menjadi latar belakang munculnya penyakit AIDS. Permasalahan AIDS tidak cukup jika hanya diterawang dari sudut pandang dunia kedokteran saja. Karena jika dipandang dari sudut pandang medis belaka maka bisa ditebak solusi apa yang akan diberikan. Ya, solusinya pasti hanya berkutat pada rekayasa teknologi agar mampu menemukan formula pengobatan yang bisa menyembuhkan penderita AIDS. Padahal permasalahan AIDS tidak sesederhana itu.
Diperlukan analisis radikal dan mendalam dari sudut pandang yang berbeda sehingga mampu mlahirkan solusi yang fundamental.
Salah satu metode analisis yang “tidak biasa” namun menjanjikan solusi yang gemilang adalah menyelesaikan permasalahan ini dalam perspektif Islam. Jika dilihat kemunculan AIDS serta factor-faktor yang menyebabkan tersebarnya virus mematikan ini semua berasal dari aktivitas yang melanggar syariat Allah. Misalnya awal kemunculan AIDS ini berasal dari kaum homoseksual. Padahal dalam pandangan Islam homoseksual adalah perbuatan yang sangat diharamkan.
Selain itu budaya seks bebas juga menjadi katalisator yang mempercepat penyebaran AIDS. Merebaknya budaya seks bebas akibat diadopsinya paham hidup liberal, paham hidup yang menjunjung tinggi kebebasan. Doktrin kebebasan yang kebablasan ini telah mampu menggantikan norma-norma luhur agama. Syariat Islam dimandulkan peranannya dan hanya mengurusi hubungan manusia dengan pencipta dan tak lagi diberikan porsi mengatur pergaulan antar sesama manusia.
Walaupn permasalahan AIDS sudah begitu akut, namun yakinlah tak ada masalah yang tidak bisa diselasaikan oleh Islam. Islam selalu tampil menawarkan solusi brilian yang akan menyelesaikan masalah hingga tuntas, termasuk penyebaran AIDS.
Syariat Islam telah memberikan tugas kepada tiga komponen untuk berjuang menuntaskan problematika AIDS yang semakin akut. Pertama adalah individu, syariat Islam telah mewajibkan individu muslim untuk menjaga kemuliaan dirinya. Misalnya dengan anjuran hidup besih dan kewajiban menutup aurat. Seks bebas muncul akibat dorongan naluri yang tak terbendung lagi. Naluri tersebut tidak mungkin bangkit jika tidak ada rangsangan eksternal. Jika saja tiap individu menjaga kemuliaannya (aurat) maka perilaku gaul bebas dapat dibendung.
Kedua jamaah dakwah. Komponen ini juga sangat penting. Merekalah yang akan bergerak ditengah masyarakat dengan manajemen gerak yang sistematis untuk melakukan proses pembinaan ditengah-tengah umat. Jamah dakwah ini harus mampu menciptakan kesadaran public agar umat ikhlas menjadikan aturan Islam sebagai satu-satunya aturan yang layak diterapkan ditengah-tengah mereka.
Komponen pertama dan komponen kedua telah melakukan kerja yang begitu massif. Saat ini tak sulit menemukan wanita berpenampilan syar’I dengan balutan jilbab dan kerudung. Sangat mudah pula menjumpai majelis-majelis ilmu yang berusaha menlakukan pencerdasan dan penjernihan pemikran umat.
Namun mengapa problem AIDS khususnya, tak kunjung usai? Karena ternyata peran komponen ketiga yaitu negara saat ini belum terlalu efektif. Dalam perspektif syariat Islam negara adalah komponen yang sangat vital dan memegang peranan penting untuk melakukan penjagaan terhadap rakyatnya.
Negara wajib menutup semua cela yang mungkin dpat dijadikan sebagai pintu masuk paham-paham desktruktrif seperti liberalisme dan sekularisme. Contoh taktisnya adalah mengawasi konten-konten media. Karena media sangat berperan aktif untuk membentuk pola pikir dan pola sikap masyarakat. Sayangnya saat ini negara belum menjalankan perannya secara maksimal. Masih banyak meida-media yang mengeksploitasi seksualitas sebagai daya pemikatnya.
Semakin terbukti tidak ada obat yang paling mujarab untuk membendung sekaligus menuntaskan permasalahan AIDS kecuali kembali kepada syariat Allah. Bisa jadi fenomena AIDS ini adalah bentuk teguran Allah kepada manusia yang sudah telalu jauh berpaling dari aturan-Nya. Maka wajar saja jika ada yang meplesetkan kepanjangan AIDS menjadi Allah Ingin Dunia Sadar.

By : Adi Wijaya

Ikatan Aqidah dan Ukhuwah Lebih Kuat Dari Ikatan Darah


”sebuas-buasnya harimau tak akan makan anak sendiri.”mungkin kita sudah tidak asing dengan pepatah di atas. Sang raja hutan yang terkenal buas yakni harimau tidak akan memakan anaknya sendiri, bahkan dia akan rela mati-matian untuk melindungi anaknya sendiri. Hal ini seolah menunjukan betapa kuatnya ikatan biologis dari harimau dan anaknya tersebut.
Pun demikian hal nya dengan manusia. Kedua orang tua tentu akan melindungi dan mendidik buah hati mereka agar menjadi manusia yang berguna bagi manusia sekitarnya. Hal ini karena adanya ikatan yang mengikat diantara mereka, yakni ikatan darah, atau ikatan biologis.
Namun, ikatan tersebut bukanlah ikatan yang kuat. Bukanlah ikatan yang sempurna. Bagaimana kita bisa melihat fakta di masyarakat banyaknya anak yang tidak lagi menurut kepada keyakinan orang tuanya ketika dia berpindah keyakinan.
Dalam sirah nabawiyah pun kita bisa melihat bagaimana sahabat yang lebih memilih Islam sebagai aqidah yang mengikat diri mereka, daripada keluarga, meskipun keluarga mereka sendiri bersumpah akan memutuskan silaturahim tali keluarga!
Lihatlah bagaimana sosok mus’ab bin umar sang muqarri’ madinah, yang lebih memilih Islam daripada keluarga nya. Ia rela hijrah ke Madinah, menjadi duta Rasulullah saw untuk menyampaikan risalah Islam di kota tersebut.
Mush’ab bin Umair bukan sembarang lelaki. Ketika di masa jahiliyyah, ia dikenal sebagai pemuda dambaan kaum wanita. Ia adalah seorang pemuda ganteng yang dikenal sangat perlente. Bila ia menghadiri sebuah perkumpulan ia segera menjadi magnet pemikat semua orang terutama kaum wanita. Gemerlap pakaiannya  dan keluwesannya bergaul sungguh mempesona. Namun sesudah memeluk Islam, ia berubah samasekali.
Pada suatu hari ia tampil di hadapan beberapa orang muslimin yang sedang duduk sekeliling Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam. Demi memandang Mush’ab, mereka sama menundukkan kepala dan memejamkan mata, sementara beberapa orang matanya basah karena duka. Mereka melihat Mush’ab memakai jubah usang yang bertambal–tambal, padahal belum lagi hilang dari ingatan mereka – pakaiannya sebelum masuk Islam – tak obahnya bagaikan kembang di taman, berwarna-warni dan menghamburkan bau yang wangi. Adapun Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam, menatapnya dengan pandangan penuh arti, disertai cinta kasih dan syukur dalam hati, pada kedua bibirnya tersungging senyuman mulia seraya bersabda :  “Dahulu saya lihat Mush’ab ini tak ada yang mengimbangi dalam memperoleh kesenangan dari orang tuanya, kemudian ditinggalkannya semua itu demi cintanya kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Atau kita bisa melihat bagaimana kuatnya ikatan yang mengikat antar masing-masing sahabat Nabi Muhammad saw. Lihatlah bagaimana meleburnya sahabat Abu Bakar yang Arab dengan Salman yang berasal dari Persia dengan Bilal yang orang Ethiopia dengan Shuhaib yang berasal dari bangsa Romawi. Mereka menjalin al-ukhuwwah wal mahabbah (persaudaraan dan kasih sayang) yang menembus batas-batas suku, bangsa, warna kulit, asal tanah-air dan bahasa. Itulah ukhuwah Islamiyyah yang terpancar dari ikatan aqidah.
Jagalah Ukhuwah Wahai Para Ikhwah
Namun memang, ada hal yang bisa merusak dan memperlamah ikatan aqidah itu sendiri yakni hilangnya rasa ukhuwah di antara para ikhwah. Hal ini bisa karena faktor urusan personal ataupun hal tehnis. Namun sejatinya, ketika seseorang memahami makna dari sebuah ikatan aqidah itu sendiri maka sejatinya ia faham bahwa ukhuwah merupakan satu diantara pilar-pilar yang memperkokoh ikatan aqidah itu sendiri. Terkadang kita menyaksikan para ikhwah yang saling caci ataupun cerca ketika berdiskusi, yang tadi nya ingin mencari kebenaran maka beralih untuk mencari pembenaran akan pendapat masing-masing.
Dalam diskusi tentang dakwah, berdiskusi dengan harokah dakwah lain. Apakah kita telah berdiskusi secara ahsan? Apakah kita telah berdiskusi dalam rangka mencari kebenaran, bukan mencari pembenaran? Apakah diskusi yang kita lakukan tidak dalam membuka aib lawan diskusi kita karena telah kalah hujjah? Sebagaimana kata seorang ikhwah :
“ketidakmilikan hujjah seseorang dalam berdiskusi, maka orang tersebut akan akan menyerang dari sisi selain hujjah lawan diskusinya”
Atau tatkala kita membuka aib saudara kita sesama muslim hanya karena faktor ketidaksukaan kita kepadanya.Na’udzubillahi mindzalik.
Ingatlah sabda Nabi kita Muhammad saw: “Siapa yang merasa pernah berbuat aniaya kepada saudaranya, baik berupa kehormatan badan atau harta atau lain-lainnya, hendaknya segera meminta halal (maaf) nya sekarang juga, sebelum datang suatu hari yang tiada harta dan dinar atau dirham, jika ia punya amal shalih, maka akan diambil menurut penganiayannya, dan jika tidak mempunyai hasanat (kebaikan), maka diambilkan dari kejahatan orang yang dia aniaya untuk ditanggungkan kepadanya.” [HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah r.a].
Hadist diatas menggambarkan kepada kita, bahwa tatkala kita tidak meminta maaf kepada orang yang kita rasa pernah kita sakiti,baik secara fisik maupun non fisik (kata-kata),maka wajiblah kita untuk meminta maaf. Jika tidak, maka kelak semua amal shalih kita akan diambil untuk menghilangkan dosa dari menganiaya tersebut sesuai kadarnya, dan jika kita tidak punya sama sekali amal shalih atau kebaikan, maka kita akan mendapatkan tambahan kejahatan dari orang yang kita aniaya tersebut, sehingga semakin membertakan timbangan dosa kita di yaumul mizan kelak, yakni hari dimana dilakukan pertimbangan amal baik dan buruk.
Semua orang tentu mempunyai aib. Dan tentu pula ia tidak mau orang lain tahu akan aib yang dimiliki. Bisa dibayangkan jika orang tersebut aibnya dibuka oleh orang lain, diceritakan dibelakang dia, atau semisal ditayangkan di televise sebagaimana hiburan infotainment di TV. Padahal Allah SWT menyuruh kita untuk menutupi aib saudara kita sendiri.
Barang siapa melepaskan seorang mukmin dari kesusahan hidup di dunia, niscaya Allah akan melepaskan darinya kesusahan di hari kiamat, barang siapa memudahkan urusan (mukmin) yang sulit niscaya Allah akan memudahkan urusannya di dunia dan akhirat. Barang siapa menutup aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan menolong seorang hamba, selama hamba itu senantiasa menolong saudaranya. Barang siapa menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju surga. Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah Allah untuk membaca Kitabullah dan mempelajarinya bersama-sama, melainkan akan turun kepada mereka ketenteraman, rahmat Allah akan menyelimuti mereka, dan Allah memuji mereka di hadapan (para malaikat) yang berada di sisi-Nya. Barang siapa amalnya lambat, maka tidak akan disempurnakan oleh kemuliaan nasabnya.” (HR Muslim)
Maka, berfikirlah sebelum berkata, berfikirlah sebelum berbuat. Bayangkan bahwa dia adalah kita. Posisikan kita sebagai dia. Posisikan kita yang aibnya di buka ataupun perasaannya di sakiti tatkala kita melontarkan perkataan atau kalimat yang itu membuat hati menjadi tersakiti.
Bagi para hamilud dakwah, berdakwahlah dengan cara yang makruf. Bukan hanya berusaha menjaga perasaan hati para mad’u kita, namun juga menjaga perasaan saudara kita walaupun berbeda harokah dakwah. Berfikirlah sebelum berkata, dan berfikirlah sebelum berbuat.
Dalam sebuah riwayat yangdiketengahkan oleh Imam at-Tirmidzi dijelaskan bahwa kunci untuk meraih keluhuran jiwa adalah menjaga lisan. Mu’adz ra berkata, Saya bertanya kepada Rasulullah,
“Wahai Rasulullah beritahukan kepada saya amal perbuatan yang dapat memasukkan saya ke dalam sorga dan menjauhkan dari neraka?” Beliau bersabda: “Kamu benar-benar menanyakansesuatu yang sangat besar. Sesungguhnya hal itu sangat mudah bagi orang yang dimudahkan oleh Allah SWT, yaitu: Hendaklah kamu menyembah kepada Allah dengan tidak menyekutukanNya dengan sesuatuapapun, mendirikansholat, membayar zakat, puasa di bulan Ramadlan, dan berhaji ke Baitullah bila kamu mampu menempuh perjalanannya.”
Selanjutnya, beliau bersabda, “Maukah engkau aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa itu adalah perisai, shadaqah dapat menghilangkan dosa seperti halnya air memadamkan api, dan sholat seseorang pada tengah malam.” Beliau lantas membaca ayat yang artinya, “Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan penuh harap, serta mereka menafkahkan sebagian rizki yang telah Kamiberikan kepada mereka. Seorang pun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu bermacam-macam nikmat yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
Lalu, beliau bertanya kembali, “Maukah engkau aku tunjukkan pokok dan tiang dari segala sesuatu dan puncak keluhuran?” Saya berkata, “Baiklah ya Rasulullah.”
Rasulullah Saw berkata, “Pokok segala sesuatu adalah Islam, tiangnya adalah sholat, dan puncak keluhurannya adalah berjuang di jalan Allah.”
Kemudian beliau bersabda, “Maukah kamu aku tunjukkantentang kunci dari kesemuanya itu?” Saya menjawab, “Tentu ya Rasulullah.”
Beliau lantas memegang lidahnya seraya berkata, “Peliharalah ini.” Saya berkata, “Ya Rasulullah, apakah kami akan dituntut atas apa yang kami katakan?” Beliau bersabda “Celaka kamu, bukankah wajah manusia tersungkur ke dalam neraka, tidak lain karena akibat lidah mereka?” [HR. at-Tirmidzi].
Mengambil Ibrah Dari Sahabat Rasulullah saw
Dahulu, dua sahabat Rasulullah saw. pernah bertengkar keras.  Abu Dzar al-Ghifari ra. pun sampai kelepasan menyebut Bilal ra. sebagai anak si hitam.  Ketika Rasulullah saw. menegurnya dengan keras, barulah Abu Dzar ra. menyesal bukan kepalang, hingga ia taruh pipinya di atas tanah dan minta Bilal ra. menginjak wajahnya asalkan ia bisa memaafkannya.  Pada akhirnya Bilal ra. tak pernah menginjak wajah saudaranya, dan cerita itu berakhir dengan bahagia.  Hal-hal yang kita anggap konyol, tidak perlu, tidak etis, tidak profesional dan tidak pantas dilakukan oleh para aktifis dakwah pun pernah terjadi pada generasi sahabat Rasulullah saw.  Ingatkah bagaimana Nabi Musa as. dikuasai oleh amarah kepada kaumnya hingga ia menarik rambut Nabi Harun as.?  Demikianlah amarah sesaat bisa membuat segala bangunan ukhuwwah yang sudah dibangun lama menjadi rusak.  Efeknya bahkan bisa menjadi permanen bila tidak segera ditanggulangi.
Sudahkah Anda mendengar kisah pertengkaran dua orang sahabat paling mulia, yaitu Abu Bakar ra. dan ‘Umar ra.?  Suatu hari Abu Bakar ra. datang kepada Rasulullah saw. dan langsung duduk merapat dengannya.  Ia bercerita bahwa antara dirinya dan ‘Umar ra. baru saja terjadi pertengkaran.  Ia terlanjur marah dan kemudian menyesal. 
Permintaan maafnya ditolak oleh ‘Umar ra., maka Abu Bakar ra. pun mengadu pada Rasulullah saw.  Beliau menenangkan Abu Bakar ra. dengan mengatakan bahwa Allah telah mengampuninya.  Setelah Abu Bakar ra. pergi, datanglah ‘Umar ra. menemui Rasulullah saw. yang saat itu sedang menyimpan amarah sehingga nampak jelas pada wajahnya.  Beginilah ucapan Rasulullah saw. saat itu: “Sesungguhnya Allah mengutus aku kepada kalian, dan kalian mengatakan ‘Kamu pendusta’, sedangkan Abu Bakar mengatakan ‘Dia orang yang jujur’, dan dia mengorbankan diri dan hartanya!”  Sadarlah ‘Umar ra. akan kesalahannya karena telah memperpanjang perselisihan dengan sahabat yang paling dicintai Rasulullah saw.  Setelah itu, Abu Bakar ra. tak pernah disakiti lagi.
Bersaudara tak mesti sedarah...
Bersaudara tak harus serumah...
Bersaudara bukan soal daerah...
Karena persaudaraan yg benar adalah atas dasar ukhuwah islamiyyah...
Kita dipersaudarakan oleh Allah yg kita sembah...
Kita bersaudara karena Rasulullah yg menyampaikan hidayah...
Adakah persaudaraan yg lebih indah dari persaudaraan karena Allah?
"Sesungguhnya orang2 mukmin adalah bersaudara. Oleh karena itu,damaikanlah diantara kedua saudaramu dan bertaqwalah kpd Allah agar km mendapat Rahmat.''(T.Q.S Al hujurat 49:10)
Wallahu A’lam bis showab

By : Adi Victoria

DAHSYATNYA ISTIGHFAR !


Dalam kehidupan sehari-hari masalah sangat akrab dalam kehidupan kita. Bentuk nya bermacam-macam. Ada yang kesulitan mendapatkan jodoh. Ada yang diuji Allah SWT dalam mendapatkan pekerjaan. Tidak sedikit yang kehilangan orang yang dicintai baik orang tua, anak atau pasang hidup.
Pada situasi itu biasanya kita merasakan kesedihan mendalam. Dunia terasa mau runtuh, hidup terasa sempit karena kita tidak berhasil mendapatkan apa yang diinginkan. Kita merasa sendirian dalam menjalani kerasnya kehidupan.
Melihat masalah memang tidak ada habisnya. Setiap manusia hidup, Allah SWT akan mengujinya dengan masalah. Itu sudah janji Allah SWT menguji keimanan dan ketangguhan manusia mengarungi samudera kehidupan. Dalam mekanisme itu terjadi seleksi alam. Bagi yang memiliki keimanan kuat, dia akan berusaha bertahan sehingga Allah SWT memberikan jalan. Tapi bagi yang lemah keimanan berdampak frustasi (stress) yang tak jarang berakhir bunuh diri.
Masalah sendiri sangat berkorelasi positif dengan paradigma (sudut pandang). Seorang yang memandang negatif masalah akan berdampak aura negatif. Berbeda ketika kita memandangnya sebagai peluang. Energi negatif berubah menjadi energi positif. Ketakutan berganti timbulnya rasa optimisme.
Allah sendiri sudah menegaskan, salah satu terapi mengatasi masalah adalah istigfar. Allah SWT menjamin, orang yang banyak istigfar tidak akan merugi. Dan janji Allah SWT itu pasti dan tak terbantahkan. Jadi jika anda punya masalah kesulitan mendapatkan rezeki, anak dan kebahagiaan perbanyaklah istigfar. Jaminan itu terlukis indah dalam Al-Qur’an :
Allah berfirman,”Maka aku katakan kepada mereka:”Mohonlah ampun (istighfar) kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan memperbanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula didalamnya) untukmu sungai-sungai.” (QS.Nuh: 10-12).
Banyak manusia tidak menyadari kekuatan rahasia yang terkandung dalam istigfar. Istigfar terbatas dimaknai sebagai permohonan ampun atas segala dosa. Pemaknaan ini membuat kita kadang malas beristigfar. Sebagian orang “melupakan” energi besar istigfar sebagai warisan agung Rasulullah SAW.
Rasulullah bersabda, “Sungguh, Allah lebih gembira dengan taubat hamba-Nya daripada kegembiraan salah seorang dari kalian yang menemukan ontanya yang hilang di padang pasir.” (HR.Bukhari dan Muslim).
Ya, makna istigfar sebagai penghapus dosa itu benar adanya. Tapi sudut pandang itu terlalu sempit. Cobalah menggali lebih dalam indahnya istigfar. Sebab seandainya masalah itu penyakit, istigfar adalah obat yang mujarab. Jika sudah ada obatnya, gratis pula mengapa kita tidak menikmatinya.
Sungguh penghalang kita terhadap Allah Rabbul Izzati salah satunya adalah kebiasaan bermaksiat. Maksiat membuat rezeki kita terhalang. Maka ketika menjalani proses istigfar, kita diminta memohon ampun, menjauhi maksiat dan meminta kebaikan. Rasulullah bersabda :
Siapa yang banyak beristiqfar, Allah akan membebaskannya dari berbagai kedukaan. akan melapangkannya dari berbagai kesempitan hidup, dan memberinya curahan rejeki dari berbagai arah yang tiada diperkirakan sebelumnya. (HR Ahmad)
Kebaikan banyak macam dan bentuknya. Salah satunya seperti yang diterangkan hadits di atas. Kesempatan mendapatkan rezeki menjadi salah satu bentuk kebaikan. Maka istigfar menjadi solusi dari 1001 masalah kita. Sungguh tak ada ruginya mengikuti jejak Rasulullah SAW yang membiasakan 100x istigfar dalam sehari. Padahal beliau sudah mendapatkan jaminan syurga dan tidak kekurangan harta dunia selama menjalani hidupnya.
Membaca istigfar sama dengan sedekah. Dengan memperbanyak beristigfar, percayalah rezeki kita akan mengalir lancar. Kesedihan hati akan hilang, digantikan kelapangan dada menerima takdir Allah. Tentunya setelah berproses dan berikhtiar (berusaha keras). Dan tahukah anda? Istighfar membuat Allah senang apalagi jika kita menjadikan sebuah rutinitas harian.
Rasulullah bersabda,”Barangsiapa yang senantiasa beristighfar, maka Allah akan memberikan kegembiraan dari setiap kesedihannya, dan kelapangan bagi setiap kesempitannya dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangka,”(HR.Abu Daud, Ibnu Majah dan Ahmad).
bY : Inggar Saputra

BacaLah, Wahai MAHASISWA !



Dalam struktur masyarakat, mahasiswa dikenal sebagai kelompok menengah (middle class). Kategorisasi ini bukan tanpa alasan. Mahasiswa diberikan kelebihan menyerap pengetahuan, daya nalar dan kepekaan sosial. Kompetensi yang menjadikan mahasiswa didaulat sebagai makhluk intelektual penerus masa depan bangsa.
Kedudukan strategis mahasiswa sebagai kaum intelektual diamini banyak kalangan. Mengutip Sejarawan Arnold Toynbe, intelektual diartikan sebagai human transformer atau pengubah nasib manusia. Kalangan intelektual dipercaya mampu memberikan pencerahan atas problematika yang terjadi. Lebih jauh, tokoh revolusi Islam Ali Syariati menegaskan intelektual harus memainkan peran strategis mencerahkan lapisan masyarakat yang tertinggal.
Tapi, belakangan daya intelektualitas mahasiswa mendapatkan ujian. Banyak mahasiswa melupakan tradisi intelektual seperti membaca, menulis, diskusi dan riset. Aktivitas mahasiswa banyak dipusatkan kegiatan hedonisme dan nongkrong tanpa kejelasan.
Perpustakaan kampus sepi, kalah dibandingkan pusat perbelanjaan. Mahasiswa berkembang menjadi konsumtif, kehilangan budaya produktif seperti membaca.
Penulis sempat berfikir, jika mahasiswa malas membaca mau jadi apa bangsa Indonesia di masa depan? Sebab berdasarkan survei Unesco, minat baca masyarakat Indonesia terendah di ASEAN. Dari 39 negara di dunia, Indonesia menempati posisi ke-38. Tidak kalah memprihatinkan, data UNDP menunjukkan posisi minat baca Indonesia berada di peringkat 96, sejajar dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Sementara untuk kawasan Asia Tenggara, hanya ada dua negara dengan peringkat di bawah Indonesia, yakni Kamboja dan Laos yang masing-masing berada di urutan angka seratus.
Merespons kebuntuan itu, agaknya mahasiswa membutuhkan penyadaran. Sebab kegiatan membaca, meminjam istilah Anies Baswedan (rektor Paramadina) dapat menjadi medium mencapai kegemilangan masa kini. Mahasiswa banyak membaca cenderung mudah menyampaikan gagasan, berpengetahuan luas dan merangsang penalaran kritis. Dirinya akan terlatih kepekaan sosialnya sehingga mampu merumuskan tantangan di masa depan.
Membaca itu produktif
Dalam Islam, ayat pertama kali diturunkan adalah Iqra (bacalah). Islam mengajak setiap muslim melepaskan dirinya dari kebodohan. Sebab, membaca dapat menjadi fondasi awal menularkan kebiasaan produktif lain seperti menulis. Rasulullah sendiri dikenal sebagai sosok ummi (tidak bisa membaca), tapi kemampuan membaca menjadi perhatiannya.
Sebagai contoh, Rasululllah dalam sebuah peperangan Rasulullah banyak menawan musuh. Ketika mereka minta dibebaskan, beliau setuju dengan syarat satu orang tawanan mengajarkan membaca dan menulis bagi anak – anak Muslim.
Setidaknya, ada tiga nilai produktif jika mahasiswa hobi membaca. Pertama, menghasilkan buku. Bagi Kebiasaan membaca dapat menularkan tradisi intelektual lain yaitu menulis. Efek positif banyak membaca membuat ketajaman berfikir dan intuisi terasah. Karena itu, tidak heran banyak mahasiswa “doyan baca” membuat buku sebagai konseptualisasi dan impelementasi gagasan hasil dari apa yang dibaca.
Kedua, sarana melawan atas kezaliman. Soekarno dikenal sebagai pembaca ulung. Sejak mahasiswa dirinya sibuk menyantap buku. Tidak heran, masyarakat Indonesia mengenalnya sebagai orator ulung. Salah satu pledoinya “Indonesia menggugat” di Bandung tahun 1930 adalah kata-kata perlawanan yang merupakan hasil kebiasannya membaca. Tidak ketinggalan Pramoedya Ananta Toer, kebiasaan membaca membuatnya menulis banyak buku yang berkisah perlawanan atas kezaliman penguasa.
Ketiga, pandangan luas. Sangat terasa berbicara dengan orang yang suka membaca. Ketika diajak bicara suatu topik, dia tidak kesulitan menyambungkannya. Kematangan dialektika, sistematika pembicaraan dan referensi bacaan sangat luas. Berbeda dengan mahasiswa tidak banyak membaca. Ketika bicara dirinya asbun (asal bunyi) , pemahaman atas suatu topik sempit dan cenderung berujung kepada debat kusir.
Percayalah, tidak ada ruginya ada menjadi seorang yang suka membaca. Karena buku membuat jendela dunia terbuka. Itu mengapa, banyak orang besar dilahirkan dari tingginya minat dan budaya membaca. Sehingga ketika dia diberikan kepercayaan memimpin bangsa tidak terjebak pandangan sempit dan egoisme saja.
Belajar dari Jepang
Sastrawan Ahmadun Herfanda dalam bukunya “Yang Muda Yang Membaca” memberikan contoh budaya membaca bangsa Jepang. Menurutnya, Jepang adalah salah satu bangsa yang menjadikan bahan bacaan sebagai sarana pemberdayaan masyarakat. Tidak lama pasca kekalahan Perang Dunia ke II dan insiden bom Hiroshima dan Nagasaki, Jepang cepat bangkit. Pemerintah Jepang mengambil sikap menerjemahkan buku asing ke bahasa Jepang sampai melupakan hak cipta. Hasilnya, Jepang berjaya sebagai salah satu macam Asia. Industri otomotifnya menyaingi AS dan Eropa.
Minat baca masyarakat Jepang yang tinggi, memang sudah sejak Restorasi Meiji. Lebih seabad lalu Jepang memiliki tekad untuk mengejar kemajuan kebudayaan Barat. Sampai sekarang pun, ribuan buku asing, terutama dari Amerika dan Eropa, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Seperti orang kehausan, mereka tidak henti-hentinya menimba ilmu dan pengetahuan lewat bacaan. Untuk penduduk sekitar 125 juta orang, di sana tiap harinya beredar puluhan juta eksemplar surat kabar, tiap bulannya beredar ratusan juta eksemplar majalah dan jenis terbitan serupa, dan tiap tahunnya dicetak lebih dari 1 miliar buku. Pemegang rekor dunia. Lebih dari 50% tenaga kerja menangani industri ilmu pengetahuan. (Toeti Adhitama, 2011)
Kejayaan budaya baca Jepang itu layak ditiru mahasiswa Indonesia. Mereka perlu bergerak simultan memperkuat daya nalar, daya kritis dan intelektualisme. Kebiasaan hedonisme sudah waktunya ditinggalkan dan digantikan tradisi baca. Tantangan globalisasi dan kemajuan IPTEK membutuhkan kompetensi manusia cerdas intelektual, spiritual dan emosional. Dalam konteks tersebut, sudah seharusnya mahasiswa tidak menjauh dari aktivitas akademik. Jika mahasiswa mampu melakukannya, percayalah kita, saya dan mungkin anda layak menaruh harapan pada masa depan Indonesia.

By : Inggar Saputra

Strategi Pendidikan Karakter Rasulullah SAW


Maraknya kekerasan di Indonesia membuat banyak kalangan merasakan keresahan mendalam. Berbagai konflik, bencana dan masalah melanda Republik tercinta. Paling menyedihkan tentunya konflik antar kelompok beragama dan kalangan muda. Budaya tawuran antar kampung, pelajar, mahasiswa dan suku masih terjadi.
Kita pantas bertanya, mengapa Indonesia menghadapi krisis kronis dan mengalami erosi moralitas. Perilaku positif hilang termakan zaman digantikan produksi perilaku negatif yang cenderung destruktif. Harga manusia dijual murah, penghilangan nyawa dianggap biasa dan budaya kecurigaan antar kelompok sangat tinggi.
Merespon fenomena itu, kita layak bertafakur dan merumuskan kembali sendi kehidupan agama dan kesalehan kolektif yang memudar. Salah satunya mengembalikan kembali posisi ajaran Islam yaitu Al – Qur’an dan Hadits Rasulullah secara proporsional, mengakar kuat dan mampu dirasakan sentuhannya dalam kehidupan masyarakat. Ada baiknya, kita juga kembali belajar membaca ulang bagaimana peri kehidupan teladan terbaik yaitu Rasulullah SAW. 
Menumbuhkan Karakter Islami
Dalam kacamata kaum muslimin, gejala yang merusak di masyarakat akibat hilangnya karakter dan kepribadian Islami. Kita kecanduan produk Barat yang hedonistik, serba bebas dan berkiblat kesenangan duniawi. Konsep permissif itu berdampak rusaknya tatanan kehidupan sosial, kacaunya moralitas dan mengendurnya nilai kebersamaan antar individu.
Jelas, ini konsepsi yang bertentangan dengan nilai Islam yang mengatur tawazun (keseimbangan) kehidupan dunia dan akhirat. Rasulullah SAW dalam membentuk generasi pilihan sangat mengintensifkan tiga kecerdasan yaitu emosional, spritual dan intelektul. Hasilnya dapat dirasakan dimana banyak dilahirkan pejuang Islam hebat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali dan sahabat lainnya.
Ada beberapa prinsip strategis pembentukan karakter Rasulullah kepada para sahabat sebagai generasi penerusnya.
Pertama, Rasulullah SAW sangat fokus kepada pembinaan dan penyiapan kader. Fakta itu dapat dilihat sejak beliau mulai mendapatkan amanah dakwah. Tugas menyebarkan Islam dijalankan dengan mencari bibit kepemimpinan unggul berhati bersih. Dakwah beliau fokus tidak menyentuh segi kehidupan politik Makkah. Selain faktor instabilitas dan kekuatan politik, perjuangan dakwah memang difokuskan nilai pembinaan.
Dirinya berusaha menanamkan karakter kenabian yaitu siddiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan) dan fatonah (cerdas). Rumah Arqam bin Abil Arqam menjadi saksi bagaimana ahirnya kepemimpinan Islam dilahirkan. Point penting pertama pendidikan karakter adalah fokus, bertahap dan konsisten terhadap pembinaan sejak dini.
Kedua, mengutamakan bahasa perbuatan lebih baik dari perkataan. Aisyah menyebut Rasulullah SAW sebagai Al-Qur’an yang berjalan. Sebutan itu tidak salah, mencermati Sirah Nabawiyah menjadikan kita menuai kesadaran rekonstruksi pemikiran dan tindakan Rasulullah SAW. Beliau berbuat dulu, baru menyerukan kepada kaumnya untuk mengikutinya. Kesalehan individu berhasil membentuk kesalehan kolektif di masyarakat Makkah dan Madinah.
Sesungguhnya pada diri Rasulullah saw. terdapat contoh tauladan bagi mereka yang menggantungkan harapannya kepada Allah dan Hari Akhirat serta banyak berzikir kepada Allah” (QS 33 : 21)
Ketika berdakwah di masyarakat Thaif dirinya mendapat perlakuan buruk dilempari kotoran. Pada saat itu datanglah Malaikat Jibril menawarkan jasa. “Hai muhammad jika engkau kehendaki gunung yang ada dihadapanmu ini untuk aku timpahkan kepada penduduk Thaif, niscaya sekarang juga aku lakukan.” Nabi menjawab “Jangan Jibril, semua itu dilakukan mereka karena ketidaktahuan mereka” kemudia nabi berdo’a “allâhumahdî qaumî fainnahû lâ ya’lamûn” “Ya Allah berikanlah hidayah kepada kaumku sesungguhnya mereka tidak mengetahui” Alhamdulillah, Allah SWT mendengar doanya, masyarakat Thaif banyak menjadi pengikut Islam. Point penting kedua, berikan keteladanan baru mengajak orang lain mengikuti apa yang kita lakukan.
Ketiga, menanamkan keyakinan bersifat ideologis sehingga menghasilkan nilai moral dan etika dalam mengubah masyarakatnya. Beliau meluruskan kemusyrikan mereka dengan mengajarkan kalimat tauhid yakni meyakini Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak disembah. Karakter tauhid menghasilkan pergerakan manusia yang dilandasi syariat Islam dalam menjalankan kehidupan. Mengutip Nur Faizin (Republika, 13/10)
Pendidikan karakter yang terpenting adalah pendidikan moral dan etika. Rasulallah SAW sendiri pun menegaskan hal itu dalam sabdanya, "Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak karimah." (HR Ahmad dan yang lain). Menumbuhkan kembali akhlak karimah haruslah menjadi kompetensi dalam proses pendidikan karakter setiap bangsa.
Akhirnya karakter itu harus memadukan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Rasulullah SAW sudah memberikan teladan itu dengan membangun pendidikan berbasis moral dan etik. Pembangunan pendidikan dapat dimulai dari Pesantren, Kampus dan Sekolah sebagai tempat subur pembinaan sekaligus pemberdayaan karakter generasi muda. Karena dengan moral yang baik dan etika yang berlandaskan ideologi yang benar akan membentuk komunitas masyarakt bangsa yang rahmatan lil alamin.

by : Inggar Saputra; Pengurus Pusat KAMMI dan Peneliti Institute For Sustainable Reform (Insure)